Kurikulum dan Kebijakan Pada Sistem Pendidikan Jepang
Pembuatan kurikulum pendidikan Jepang diawasi oleh The Board of Education yang terdapat pada tingkat perfectur dan munipal. Karena
kedua lembaga ini masih terkait erat dengan MEXT, maka pengembangan
kurikulum Jepang masih sangat kental sifat sentralistiknya. Namun
rekomendasi yang dikeluarkan oleh Central Council for Education (chuuou
shingi kyouiku kai) pada tahun 1997 memungkinkan sekolah berperan lebih
banyak dalam pengembangan kurikulum di masa mendatang.
Beberapa hal berikut harus diperhatikan ketika sekolah menyusun kurikulumnya :
1. Mengacu kepada standar kurikulum nasional
1. Mengacu kepada standar kurikulum nasional
2. Mengutamakan keharmonisan pertumbuhan jasmani dan rohani siswa
3. Menyesuaikan dengan lingkungan sekitar
4. Memperhatikan step perkembangan siswa
5. Memperhatikan karakteristik course pendidikan/jurusan pada level SMA.
Secara garis besar penyusunan kurikulum sekolah adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan tujuan sekolah
2. Mempelajari standar kurikulum, dan korelasinya dengan tujuan sekolah
3. menyusun course wajib dan pilihan untuk SMP dan SMA
4. Mengalokasikan hari efektif sekolah dan jam belajar.
Sementara
aturan pendidikan yang ada di negara Jepang terbagi atas dua periode
yaitu periode sebelum Perang Dunia II dan periode setelah Perang Dunia
II dimana kedua periode tersebut memiliki butir-butir perbedaan mengenai
kebijakan yang diterapkan dalam pendidikan Jepang.
Sebelum
Perang Dunia ke II diberlakukan kebijakan pendidikan yang terangkum
dalam salinan Naskah Kekaisaran mengenai pendidikan atau yang disebut
dengan Imperial Rescript on Education. Dimana pada zaman dahulu para
kaisar telah dididik berbasis nilai yang luas dan kekal, serta menanam
nilai-nilai positif secara mendalam dan kokoh dalam pribadi setiap
kaisar. Materi yang diajarkan pada zaman dahulu lebih cendrung mengarah
pada kesetiaan dan kepatuhan dari generasi kegenerasi dengan tetap
menerapkan estetika.
Nilai-nilai
positif dari para kaisar di Jepang inilah yang diterapkan pada
pendidikan yang ada di negara tersebut. Dimana setiap individu harus
mampu menjalin hubungan yang harmonis, mencurahkan kasih sayang terhadap
orang-orang di sekelilingnya, kesetiaan, dan kepatuhan kepada orang
tua, suami, istri, sahabat, menjadi diri sendiri yang moderat dan
sederhana, serta menuntut ilmu sedalam mungkin dan diimbangi dengan jiwa
seni.
Setelah
berakhirnya Perang Dunia ke II yaitu pada tanggal 3 November 1946,
kebijakan pendidikan Jepang mulai dirubah berbasis Hak Asasi Manusia,
kebebasan hati nurani, jaminan setiap individu untuk mengembangkan
kebebasan berfikir, kebebasan akademik dimana setiap individu memperoleh
hak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
Maret 1947, Peraturan Pendidikan Nasional Jepang (School Education Law) menentapkan
susunan pendidikan dasar pendidikan yang keseluruhannya terdiri atas
6-3-3-4. Yang artinya tahap-tahap pendidikan Jepang terdiri atas empat
tahapan yang memiliki tujuan, visi, misi, yang khusus pada setiap
jenjang tahapannya.
Kurikulum Pendidikan di Jepang
Seperti
di Indonesia, kurikulum pendidikan Jepang disusun oleh sebuah komite
khusus dibawah kontrol Kementerian Pendidikan (MEXT). Komisi Kurikulum
terdiri dari wakil dari Teacher Union, praktisi (pakar pendidikan),
wakil dari kalangan industri, dan wakil MEXT. Komisi ini bertugas
mempelajari tujuan pendidikan Jepang yang terdapat dalam Fundamental
Education Law (Kyouiku kihonhou), lalu menyesuaikannya dengan
perkembangan yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri.
Dalam
menyusun draf kurikulum seringkali terjadi perdebatan panjang antara
wakil-wakil persatuan guru dan wakil kementrian karena kepentingan
politik.
Kurikulum di level sekolah disusun dengan kontrol penuh dari The Board of Education di Tingkat Prefectur dan municipal (distrik).
Kurikulum di level sekolah disusun dengan kontrol penuh dari The Board of Education di Tingkat Prefectur dan municipal (distrik).
Karena
kedua lembaga ini masih terkait erat dengan MEXT, maka pengembangan
kurikulum Jepang masih sangat kental sifat sentralistiknya. Namun
rekomendasi yang dikeluarkan oleh Central Council for Education (chuuou
shingi kyouiku kai) pada tahun 1997 memungkinkan sekolah berperan lebih
banyak dalam pengembangan kurikulum di masamendatang.
Pembaharuan
kurikulum di Jepang mengikuti pola 10 tahunan. Hal-hal baru dimasukkan
dalam setiap perubahan kurikulum yang terjadi. Pertimbangan dilakukan
perubahan kurikulum adalah adanya perubahan sosial dan ekonomi
masyarakat Jepang khususnya dan dunia pada umumnya.
Berikut ini adalah perubahan kurikulum yang pernah dilakukan Jepang.
a) Pada tahun 1955, kurikulum pendidikan setelah PDII disusun, kurikulum ini merupakan kurikulum yang paling padat dan memuat pengetahuan yang paling banyak dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum berikutnya.
a) Pada tahun 1955, kurikulum pendidikan setelah PDII disusun, kurikulum ini merupakan kurikulum yang paling padat dan memuat pengetahuan yang paling banyak dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum berikutnya.
b)
Pada tahun 1967, kurikulum pendidikan Jepang menerima metode
Investigative Learning, yang memuat materi pengajaran sedikit, hanya
bagian-bagian yang sesuai dan memungkinkan dilakukannya kegiatan
investigative yang termuat di dalam kurikulum ini.
c)
Tahun 1977 kurikulum diubah lagi. Kali ini menganut system pendidikan
yang tidak membebani siswa. Dengan pengaruh ini semua siswa dites,
berdasarkan hasil tes ini bagian dari kurikulum yang dianggap sulit
dibuang, dengan demikian isi kurikulum berkurang lagi.
d)
Tahun 1988 terjadi perubahan pandangan pada kalangan pendidikan di
Jepang. Pada saat ini kegiatan hands-on dianggap penting. Maka dalam
kurikulum hanya topik-topik yang bisa dihands-on kan saja yang dimuat,
bagian yang tidak memungkinkan kegiatan hands-on tidak dimuat di dalam
kurikulum.
e)
Kurikulum yang dipakai sekarang ini merupakan kurikulum yang disusun
pada tahun 1998. Dibandingkan dengan kurikulum lainnya, kurikulum ini
merupakan yang paling sedikit dan paling ringan muatannya. Kurikulum ini
mendapat kritikan dari kalangan pengusaha seperti Toyota dan Sharp.
Mereka menganggap kurikulum yang ada tidak memberikan kesempatan belajar
yang cukup bagi anak-anak berbakat. Anak-anak yang cemerlang dianggap
tidak mendapat tantangan yang cukup dari kurikulum yang sekarang ini.
Penerapan
kurikulum 1998 membuat pemerintah harus berusaha keras untuk mengubah
pola pikir guru-guru Jepang. Guru-guru di Jepang sejak jaman perang
percaya bahwa pendidikan bersifat massal dan sama. Pendidikan yang
menjurus kepada kekhasan tertentu atau menerapkan pola atau metode yang
lain daripada yang lain dianggap salah. Guru-guru Jepang senantiasa
percaya bahwa semua siswa harus memiliki prestasi yang sama,
kedisiplinan yang sama dengan sistem pendidikan yang sama pula. Adanya
kurikulum 1998 memberikan pengertian bahwa setiap anak punya potensi
yang berbeda dengan lainnya dan inilah yang harus dibina. Kurikulum yang
baru bersifat fleksibel dan memungkinkan sekolah untuk meramu kurikulum
sendiri berdasarkan kondisi daerah, sekolah dan siswa yang mendaftar.
Sebagai
pengganti kurikulum 1998, pada tahun 2001 Kementrian Pendidikan Jepang
mengeluarkan rencana reformasi pendidikan di Jepang yang disebut sebagai
`Rainbow Plan`. Isi Rainbow plan meliputi:
a)
Mengembangkan kemampuan dasar siswa dalam model pembelajaran yang
menyenangkan. Ada 3 pokok arahan yaitu, pengembangan kelas kecil terdiri
dari 20 anak per kelas, pemanfaatan Tekhnologi Informasi dalam proses
belajar mengajar dan pelaksanaan evaluasi belajar secara nasional
b)
Mendorong pengembangan kepribadian siswa menjadi pribadi yang hangat
dan terbuka melalui keaktifan siswa dalam kegiatan kemasyarakatan, juga
perbaikan mutu pembelajaran moral di sekolah.
c)
Mengembangkan lingkungan belajar yang menyenangkan dan jauh dari
tekanan, diantaranya dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, seni,
dan sosial lainnya.
d)
Menjadikan sekolah sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh orang tua
dan masyarakat. Tujuan ini dicapai dengan menerapkan sistem evaluasi
sekolah secara mandiri, dan evaluasi sekolah oleh pihak luar,
pembentukan school councillor, komite sekolah yang beranggotakan orang
tua, dan pengembangan sekolah berdasarkan keadaan dan permintaan
masyarakat setempat.
e)
Melatih guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan
pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru
yang berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk
meningkatkan etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap
di bidangnya.
f) Pengembangan universitas bertaraf internasional
g)
Pembentukan filosofi pendidikan yang sesuai untuk menyongsong abad baru
melalui reformasi konstitusi pendidikan (kyouiku kihon hou).
Hingga
tahun 2007 ketujuh poin telah dilaksanakan secara simultan, walaupun di
beberapa bagian masih ada yang diperdebatkan. Protes berasal dari
kalangan guru, masyarakat dan pemerhati pendidikan. Salah satu bagian
yang masih menjadi perdebatan adalah pendidikan moral berkaitan dengan
nasionalisme, perlu tidaknya menceritakan sejarah perang kepada anak
didik, perlu tidaknya menyanyikan lagu Kimigayo atau mengibarkan bendera
hinomaru. Keunggulan Rainbow Plan ada pada point ke-4. Dengan point ini
sekolah berupaya membuka diri kepada masyarakat dan orang tua. Program
yang dapat dijalankan misalnya dengan program jugyou sanka (orang tua
yang menghadiri kelas anak-anaknya), sougou teki jikan (integrated
course) yang melibatkan masyarakat setempat, dan forum sekolah. Poin
ke-5 sampai saat ini masih dibicarakan. Hal yang menjadi perdebatan
adalah adanya `kyouin hyouka` yaitu sistem evaluasi guru yang dibebankan
kepada The Board of Education dan sertifikasi mengajar melalui training
atau pendidikan guru.
Reformasi Pendidikan di Jepang
Menurut
Hara Kiyoharu (2007:3), reformasi pendidikan di Jepang telah
berlangsung tiga kali yaitu, reformasi pada masa restorasi Meiji,
reformasi sesudah PD II, dan reformasi menuju abad 21.
Reformasi
pertama pada masa Meiji (1872-1890) membawa pendidikan di Jepang
memasuki masa modern dengan diterapkannya sistem persekolahan yang
terstruktur dan kesempatan luas bagi warganegara untuk mengakses
pendidikan. Tetapi pendidikan pada masa ini masih terkotak-kotak antara
pendidikan elitis dan pendidikan orang kebanyakan. Selanjutnya pada era
Taishō (1912-1926) diperkenalkan pula pendidikan liberal yang
dipengaruhi oleh paham liberalism yang berkembang di Amerika.
Reformasi
sesudah perang intinya adalah penerapan wajib belajar dan penerapan
pendidikan demokratis. Dengan adanya pembaharuan ini, jumlah siswa yang
dapat mengakses pendidikan dasar meningkat dan pendidikan telah berubah
dari pendidikan elit menuju pendidikan massal.
Reformasi ketigadirancang oleh Chuuoukyouikusingikai dan Rinjikyouikusingikai,
yaitu Tim Khusus yang ditunjuk oleh Perdana Menteri untuk membantu
mencarikan pemecahan permasalahan pendidikan yang akan diusulkan kepada
PM dan diterapkan oleh Menteri Pendidikan. Tahun 2001 Kementrian
Pendidikan Jepang mengeluarkan rencana reformasi pendidikan di Jepang
yang disebut sebagai “Rainbow Plan”.
1. Mengembangkan
kemampuan dasar scholastic siswa dalam model pembelajaran yang
menyenangkan. Ada 3 pokok arahan yaitu, pengembangan kelas kecil terdiri
dari 20 anak per kelas, pemanfaatan IT dalam proses belajar mengajar,
dan pelaksanaan evaluasi belajar secara nasional
2. Mendorong
pengembangan kepribadian siswa menjadi pribadi yang hangat dan terbuka
melalui aktifnya siswa dalam kegiatan kemasyarakatan, juga perbaikan
mutu pembelajaran moral di sekolah
3. Mengembangkan
lingkungan belajar yang menyenangkan dan jauh dari tekanan, diantaranya
dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, seni, dan sosial lainnya
4. Menjadikan
sekolah sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh orang tua dan
masyarakat. Tujuan ini dicapai dengan menerapkan sistem evaluasi
sekolah secara mandiri, dan evaluasi sekolah oleh pihak luar,
pembentukan school councillor, komite sekolah yang beranggotakan orang
tua, dan pengembangan sekolah berdasarkan keadaan dan permintaan
masyarakat setempat.
5.
Melatih guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan
pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru
yang berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk
meningkatkan etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap
di bidangnya.
6. Pengembangan universitas bertaraf internasional
7.
Pembentukan filosofi pendidikan yang sesuai untuk menyongsong abad
baru, melalui reformasi konstitusi pendidikan kyouiku kihon hou) (MEXT,
2006).
Perubahan
Jepang menjadi negara industri membawa dampak yang sangat besar dalam
masyarakatnya. Negara Jepang yang mengalami kekalahan dalam PD II dan
pada dasarnya tidak memiliki sumber daya alam yang memadai terpacu untuk
membangun negerinya secara besar-besaran. Dapat dikatakan bahwa
generasi kunci kemajuan Jepang adalah generasi yang lahir pada masa
perang, atau kira-kira berumur 25-30 tahunan pada tahun 60-70an. Mereka
mewarisi jiwa gambarism pendahulunya yang sukses menaklukkan beberapa negara di Asia.
Era
60-an ditandai pula sebagai era shinkansen, transportasi super cepat.
Rel-rel dibangun melintasi wilayah Jepang sekalipun pada waktu itu
banyak sekali protes dari masyarakat. Tetapi proyek shinkansen akhirnya
membawa kemajuan ekonomi Jepang semakin pesat, sekaligus meningkatnya
kompetisi dalam masyarakat Jepang yang semula dikenal sangat homogen.
Sistem Pendidikan di Negara Jepang
Pendidikan di Jepang dipegang tiga lembaga pengelolaan yaitu :
- Pemerintah Pusat
- Pemerintah Daerah
- Swasta.
Dengan sistem admistrasi pendidikan dibangun atas empat tingkatan yaitu :
- Sistem administrasi pusat
- Sistem administrasi prefectural (Provinsi dan Kabupaten)
- Sistem administrasi municipal (Kabupaten dan Kecamatan)
- Sistem administrasi sekolah.
Masing-masing
sistem administrasi tersebut memiliki tingkatan dan perananya dan
kewenangannya masing-masing untuk saling mengisi dan berkerjasama dalam
mengatur setiap sistem administrasi pada pendidikan Jepang. Di samping
itu terjalin kohesi yang baik antara pemerintah, kepala sekolah, guru,
murid dan orang tua sehingga dukungan terhadap perkembangan dan kemajuan
pendidikan berlangsung dengan baik.
Selain
itu bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan pada negara Jepang memiliki
kemiripan pada sistem pendidikan di negara kita dimana jenjang
pendidikannya melalui 4 tahap secara umum yaitu 6-3-3-4 artinya siswa
harus melewati 6 tahun untuk tahap pendidikan dasar, 3 tahun Sekolah
Menengah Pertama, 3 tahun Sekolah Menengah Atas, 4 tahun Perguruan
Tinggi. Hal tersebut dikarenakan karena negara kita merupakan negara
bekas jajahan Jepang sehingga sebagian sistem pendidikan negara Jepang
masih diterapkan di negara kita dengan sedikit perubahan dimana negara
kita lebih memfokuskan pada pelajaran logika dan penilaian hasil akhir
semester sebagai penentu kelulusan siswa sedangkan di negara Jepang
lebih difokuskan pada pengembangan watak kepribadian dalam kaitannya
terhadap kehidupan sehari-hari dan penilaian ditentukan oleh guru/dosen
kelas dengan melihat kinerja belajar siswa sehari-hari sebagai penentu
kelulusan. Perlu kita ketahui bahwa sistem pendidikan Jepang dibangun atas dasar prinsip-prinsip:
1. Legalisme:
Pendidikan di Jepang tetap mengendepankan aturan hukum dan melegalkan
hak setiap individu untuk memperoleh pendidikan tanpa mendiskriminasikan
siapapun, suku, agama, ras, dan antar golongan berhak mendapatkan
pendidikan yang layak.
2. Adminstrasi
yang Demokratis: Negara memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk
memperoleh pendidikan dengan biaya yang masih terjangkau oleh
masyarakatnya. Biaya pendidikan Jepang di usahakan untuk bisa dijangkau
sesuai keuangan masyarakatnya, memberikan beasiswa bagi siswa yang
berprestasi ataupun kurang mampu.
3. Netralitas:
Pendidikan Jepang diberikan kepada setiap siswa dengan tingkat
pendidikan masing-masing dengan mengedepankan pandangan persamaan
derajat setiap siswanya tanpa membeda-bedakan latar belakang materil,
asal-usul keluarga, jenis kelamin, status sosial, posisi ekonomi, suku,
agama, ras, dan antar golongan.
4. Penyesuaian
dan penetapan kondisi pendidikan: Dalam proses pengajaran memiliki
tingkat kesulitan masing-masing yang disesuaikan dengan
tingkatan-tingkatan pendidikan yang ditempuh.
5. Desentralisasi:
Penyebaran kebijakan-kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat secara
merata kepada seluruh sekolah yang ada dinegara tersebut sehingga
perkembangan dan kemajuan sistem pendidikan sehingga dapat diikuti
dengan baik.
Tujuan-tujuan yang menjadi target yang ingin dicapai pendidikan Jepang yaitu :
1. Mengembangkan kepribadian setiap individu secara utuh.
2. Berusaha keras mengembangkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik
pikiran maupun jasmani.
3. Mengajarkan kepada setiap siswa agar senantiasa memelihara keadilan dan kebenaran.
4. Setiap siswa dididik untuk selalu menjaga keharmonisan dan menghargai terhadap lingkungan sosialnya.
5. Setiap siswa dituntut untuk disiplin, menghargai waktu, dan memiliki etos kerja.
6. Pengembangan
sikap bertanggungjawab terhadap setiap pembebanan pelajaran dan tugas
yang diberikan kepada siswa sesuai dnegan tingkat pendidikannya
masing-masing.
7. Meningkatkan semangat independen setiap siswa untuk membangun negara dan menjaga perdamaian dunia.
Struktur dan Jenis Pendidikan di Jepang
Secara
umum tidak ada perbedaan antara struktur pendidikan di Jepang dengan di
Indonesia yang terdiri atas Taman kanak-kanak, Pendidikan dasar,
pendidikan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan non formal. Pendidikan Jepang terdiri atas sistem 6-3-3-4 dimana siswa wajib mengemban :
1. 6 tahun Sekolah Dasar (Shōgakkō)
2. 3 tahun Sekolah Menengah Pertama (Chūgakkō)
3. 3 tahun Sekolah Menengah Atas (Koutougakkou)
4. 4 tahun atau lebih untuk jenjang Perguruan Tinggi (Daigaku).
https://benkyoukaihimabajaupi.wordpress.com/2013/09/17/sistem-pendidikan-di-jepang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar